Siapa sangka hanya karena selembar kain halus membuat jiwa wiraswasta Chairul Tanjung muncul. Kini sang CEO Para Group itu memiliki segudang bisnis yang bergerak di jasa keuangan, gaya hidup dan hiburan, properti, dan sumber daya alam. Kisah itu bermula dari awal kuliah di jurusan Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Biaya masuk kuliah kala tahun 1981 sebesar Rp 75 ribu, dengan uang kuliah per tahun Rp 45 ribu. Rupanya untuk membayar uang kuliah tersebut, sang ibu sampai harus menggadaikan selembar kain halus.

Tak jelas kain seperti apa yang digadaikan, namun pada masa itu kain tersebut biasanya hanya dikeluarkan pada peristiwa penting seperti pernikahan. Chairul baru tahu, sang ibunda menggadaikan kain setelah dia masuk kuliah. Mengetahui rahasia itu, dia terenyuh dan berjanji pada diri sendiri tidak akan meminta uang kepada orang tuanya.

“Saya betul-betul terenyuh dan shock, sejak saat itu saya bersumpah tidak mau meminta uang lagi ke orang tua,” kata dia dalam forum CEO Speaks yang diselenggarakan Binus Business
School di Jakarta pada pertengahan Januari 2009 ini. Semenjak itu, Chairul mulai mencari uang sendiri dengan berbagai cara, mulai dari menjual stiker, buku, tas, kaos, sepatu hingga membuka fotokopi bagi mahasiswa. Dia bekerjasama dengan pemilik mesin fotokopi, dan meletakkannya di tempat strategis yaitu di bawah tangga kampus.

Pria kelahiran Jakarta ini membuktikan untuk menjadi wirausaha,uang bukan modal utama. “Namun itu perlu kemauan dan kerja keras,” ujarnya. Ditambah lagi sebagai aktivis kampus, menurut dia, ternyata menguntungkan karena dia memiliki banyak jaringan. Uang pertama diperoleh saat dia berbisnis dalam pembuatan buku penilaian kuliah. Berbekal jaringan yang dia miliki, dia meminta teman yang mempunyai mesin fotokopi untuk membuat buku itu dengan harga Rp 150 per buku. Dia menjualnya Rp 300. Dari hasil itu dia mendapatkan Rp 15 ribu pertama dalam hidupnya.

“Bukan hanya Rp 15 ribu, mendapatkan Rp 100 ribu pertama akan jauh lebih susah daripada Rp 100 miliar ke dua,” pesan dia. Dia percaya menjadi orang sukses harus dimulai secara bertahap. Jatuh bangun adalah proses yang biasa. Pada 1984, dia membuat toko alat kedokteran di daerah Senen Raya. Namun usahanya harus ditutup akibat sifat sosialnya yang suka mentraktir teman-
temannya.

Namun, dia tak patah arang. Pria kelahiran 18 Juni 1962 ini mencoba bisnis lainnya. Berbekal modal awal dari Bank Exim sebesar Rp 150 juta, Chairul mendirikan pabrik sepatu yang diekspor bersama temannya. Dengan bekal itulah ia belikan 20 mesin jahit. Dari usaha itulah, Para Group mulai melebarkan bisnisnya perlahan demi perlahan. Lompatan besarnya terjadi pada saat dia mengakuisisi Bank Karman pada 1996, dan mengganti namanya menjadi Bank Mega. Saat itu, aksinya malah dipandang aneh karena pada saat krisis justru ia malah mengambil alih bank. Namun, di tangannya, bank kecil yang hampir bangkrut tersebut malah
berkembang besar seperti sekarang.

Kini Para Group mempunyai kerajaan bisnis yang mengandalkan pada tiga bisnis inti. Pertama jasa keuangan seperti Bank Mega, Asuransi Umum Mega, Asuransi Jiwa Mega Life, Mega Capital Indonesia. Kedua, gaya hidup dan hiburan seperti Trans TV,Trans7. Ketiga berbasis sumber daya alam.Mantan Ketua Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PBSI) ini juga mempunyai bisnis properti, seperti Bandung Supermall. Dengan bisnisnya ini, tak heran suami dari Dokter gigi Ratna Anitasari ini dijuluki “The Rising Star”

Dalam menjalankan kepemimpinan, dia menerapkan gaya memberi panutan terhadap anak buah. Cara ini terbukti ampuh.
“Jika anda mencontohkan kerja keras maka anak buah akan kerja keras. Saya mempraktekkannya. Dan, itu jalan.” kata dia.

Ambisi membesarkan semua lini bisnis Para Group semakin besar. Bank Mega misalnya, dirancang untuk menjadi bank terbesar dalam 10 tahun ke depan. Strateginya, Bank Indonesia akan banyak membuka cabang di Indonesia Timur dalam tiga tahun mendatang. Targetnya 200 kantor baru di Indonesia Timur, sehingga bisa menjadi bank terbesar di wilayah itu.

Untuk bisnis media, dia mengaku akan melakukan ekspansi.Namun, strateginya tidak sama dengan pemain media lain, seperti banyak di antara mereka yang membuat media online. “Kalau kami akan masuk ke new media sesungguhnya, apa bentuknya? tunggu saatnya,” tuturnya diplomatis.

Sekarang, dalam situasi krisis yang menghantam sejumlah grup bisnis besar, Chairul mengaku juga terkena imbas, khususnya unit bisnis sumber daya alam. Namun, dia tak menyerah. Dia malah sengaja berkeliling Indonesia untuk bertemu dengan seluruh karyawannya. Dia menjelaskan bagaimana kondisi perekonomian saat ini agar pegawainya siap menghadapi krisis. Ada tiga pesan, pertama, jika ternyata krisis ini sangat panjang dan semua orang harus mati, maka pastikan menjadi orang yang terakhir mati.
Kedua, jika krisis ini sangat panjang dan hanya tersisa satu orang, maka pastikan anda menjadi orang tersebut.
Ketiga, jika tidak terjadi krisis maka pastikan anda menjadi orang yang paling bahagia karena anda sudah siap.Saya mulai berbisnis sejak kuliah tingkat satu di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Idealisme ini muncul karena keluarga saya tidak mampu. Ibu saya harus
menggadaikan kain halusnya untuk membayar kuliah. Saya tidak bisa menerima. Intinya saya harus bisa membiayai diri sendiri. Syukur, bisnis informal yang saya kerjakan (di kampus jual stiker, tas, buku, penjilidan buku) sukses, dan bertahap bisa biayai keluarga. Kesulitan keuangan, aktivitas semasa SMP, SMA, dan kuliah menjadi pendorong utama. Ada akumulasi bahwa berbisnis itu harus cari untung, cari uang. Uang penting, tapi tak segalanya. Ini membuat saya bisa akumulasikan bisnis dan idealisme ini. Pengalaman batin. Kalau saya anak orang kaya tak bisa. Saya sangat paham akan bisnis dan idealisme ini.

Ingin menjadi penguasa?
Saya demonstran, mahasiswa teladan, dan kini pengusaha. Sampai hari ini saya selalu bisa mengendalikan diri untuk tetap sebagai pengusaha. Walaupun dorongan dan ajakan untuk ke politik sangat kuat, syukur sampai saat ini saya bisa meyakinkan semua pihak bahwa menjadi pengusaha itu juga penting.
Persisnya?
Karyawan saya kini lebih dari 50.000 orang. Ini yang langsung bukan yang terafiliasi. Kalau saya tetap berusaha, lima tahun lagi bisa di atas 100.000 orang dan mungkin 10 tahun lagi menjadi 500.000 orang. Kalau saya menjadi penguasa, mungkin saya tidak bisa melakukan ini, memberikan kesejahteraan langsung bagi begitu banyak orang. Sekonkret itu. Mungkin saya bisa berbuat lewat perbaikan regulasi dan sebagainya, tetapi efek langsungnya tidak bisa. Sebagai pengusaha bisa langsung.

Facebook Comments