Mau jadi tempat sampah terbesar ? “Lho..pan kita manusia..”
hehehe, jangan diartikan denotatif ah.. Sekali ini aku ingin berkias..
“ Hahaha, sekali ini.. ? Perasaan sudah seringkali de..” Mungkin itu
ujarmu. Hush, jangan buka rahasia dong.. 🙂
Tempat sampah yang kumaksudkan di sini adalah menjadi tempat
orang membuang segala uneg-uneg, curhatnya, idenya. Menjadi
pendengar yang baik.
Sudahkah kamu menjadi pendengar yang baik..? Wah, kalau aku si belum. Kalo menyitir ujaran pak KK bahwa mendengar tu melibatkan telinga, mata, raut muka dan gerak tubuh bersahabat, maka aku bukanlah pendengar yang baik. Selama ini aku baru mendengar dengan telinga saja. Jujur, kadang aku jenuh jika sampah yang dibuang jenis yang itu-itu saja. Jadi yang sering terjadi adalah telinga masih mendengar tapi raut muka manyun.
Telinga mendengar tapi pandang mata menerawang.. Hahaha,betul-betul susah untuk mensinkronkannya.
Sebenarnya, kalau mau dihitung, dibanding jenuhnya, jadi tempat sampah banyak untungnya juga. Memang, sampah yang dilemparkan ke kita terlihat jelek, menjijikkan tak ada guna. Namun, ada juga diantaranya yang masih bisa diolah jadi sesuatu yang lebih baik. Sampah daun dan bahan organik bisa dijadikan pupuk kompos. Sampah kertas bisa dilumatkan dan diproses jadi kertas daur ulang yang tampilannya ciamik, dst.
Begitu pula curhatan yang disampaikan pada kita. Kadang bisa diolah jadi pelajaran berguna, tanpa perlu menghadapi hal yang serupa. Kadang bisa dijadikan rambu-rambu peringatan. Kadang bisa dijadikan ancang-ancang, persiapan dan pembelajaran ketika
dihadapkan pada hal yang serupa.
Curhatan teman kadang juga bisa dijadikan bekal untuk berbagi atau bahkan mencari rezeki. Misalnya, komposer yang berhasil mencipta lagu karena terinspirasikan curhat seorang teman atau penulis yang mendapatkan ide tulisan setelah bermenit-menit mendengarkan curhatan teman atau bahkan orang yang baru ditemuinya. Yap, jadi pembuang sampah memang melegakan hati. Tapi jadi tempat sampah lebih memperkaya hati (mungkin juga diri). Mau ?