Ketika seseorang mendengar kata kusta, banyak gambaran dan konotasi negatif yang muncul di benak. Makna ini telah berkembang dan terakumulasi sejak lama hingga membentuk anggapan yang salah. Sehingga, meskipun kebanyakan orang tidak pernah benar-benar melihat efek dari penyakit ini, mereka merasa enggan mencari tau. Padahal dengan tau lebih banyak, kita bisa melakukan pencegahan, perawatan dan memandang penderitanya dengan lebih simpatik.
Mitos yang meyakininya sebagai penyakit kutukan membuatnya seolah tabu untuk dibicarakan. Kondisi ini juga membuat penderita menutup diri karena stigma yang diberikan kepadanya. Akibatnya, Kita tidak menyadari bahwa penyakit ini masih berada disekitar kita. Hingga saat ini Indonesia masih menjadi negara dengan penderita kusta terbanyak ketiga di Dunia. Hal ini tentu membutuhkan perhatian lebih serius agar tidak lagi bertambah.
Mengenal Kusta Lebih jauh
Menurut literatur, Kusta adalah salah satu penyakit paling tua yang menjangkiti manusia. Jejak penderitanya diketahui bahkan sejak 2000 tahun sebelum masehi. Saking panjangnya rentang waktu yang ditempuh oleh penyakit ini, membuat kisah-kisah tentang kusta lebih banyak diselimuti oleh mitos daripada faktanya itu sendiri.
Kusta baru berhasil dijelaskan secara sains pada tahun 1873 oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armanuer Hansen. Ia mampu menjelaskan bahwa Kusta disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi, jaringan dan organ tubuh lain dan dapat menimbulkan kecacatan.
Penyakit kusta terbagi menjadi dua kategori, yaitu kusta kering (Pausi Basiler/PB) dan kusta basah (Multi Basiler/MB). Keduanya memiliki ciri dan gejala yang berbeda.
- Kusta kering Pausi Basiler/PB ditandai dengan munculnya bercak putih kering dan muncul pada beberapa bagian kulit tubuh, tanda-tanda tersebut sekilas terlihat seperti penyakit panu, kusta kering tidak menular.
- Kusta basah Multi Basiler/MB ditandai dengan munculnya bercak putih dengan bagian tepinya berwarna kemerahan, bila disentuh mati rasa dan bisa menular.
Kusta Tidak Menyeramkan Seperti yang Dibayangkan
Kusta adalah penyakit menular, tetapi sangat tidak mudah menular. Artinya, kita tidak perlu takut berlebihan terhadapnya. Kusta dapat menular melalui droplet hidung dan mulut dari penderita. Itupun diperlukan kontak erat secara terus menerus dan dalam waktu yang lama dengan penderita hingga bisa tertular.
Menurut data dari Dinas Kesehatan mengatakan bahwa 95% orang Indonesia memiliki kekebalan tubuh terhadap penyakit ini. Dari 5% sisanya tersebut sebagian besar bisa sembuh dengan sendirinya. Sementara yang positif terkena kusta, itupun bisa diobati hingga benar-benar sembuh.
“Kalau Sistem daya tahan tubuh seseorang itu kuat, maka orang tersebut walaupun tinggal serumah dia tidak akan tertular. Hasil penelitian yang dilakukan, diantara 100 orang yang bergaul dengan penderita kusta, 95% kebal dan hanya 5% itupun belum memperhatikan masalah pengobatan”.
Komarudin S.Sos.M.kes
Wasor Kusta Kabupaten Bone
Masa inkubasi Kusta sangat lama, bahkan bisa sampai bertahun-tahun. Untuk itu, jika diobati sejak dini, penyakit ini dapat disembuhkan tanpa menimbulkan kecacatan. Sehingga pada prinsipnya, semakin cepat penderita kusta diidenntifikasi dan diobati, maka disabilitas bisa dicegah. Kenali tanda-tandanya dan lakukan pengobatan secara teratur.
Tanda Kusta, simak video dari kompas ini
Hilangkan Stigma Negatif penderita Kusta
Pengobatan bisa didapatkan dan tersedia gratis di rumah sakit dan puskesmas. Dengan pengobatan multi drug treatment (MDT) selama 6 bulan untuk tipe PB (pausibasiler), dan 12 bulan untuk tipe MB (multibasiler) pengidap bisa sembuh total. Pengobatan yang teratur dan dilakukan sejak dini bisa memutus rantai penularan, mencegah kecacatan pada penderita atau agar cacat tersebut tidak semakin parah.
Dan tentunya jika sudah sembuh, bisa memperbaiki kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Semua pasien kusta yang telah selesai minum obat multi drug treatment, tidak akan menularkan kusta kembali. Jadi mereka bisa kembali ke masyarakat tanpa harus ditakuti dan dikucilkan.
Belajar Dari Kabupaten Bone, Mewujudkan Indonesia Bebas Kusta
Kabupaten yang terletak di Sulawesi Selatan ini memiliki contoh yang bisa ditiru untuk mengentaskan Kusta. Dalam talkshow ruang publik dengan tema “Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas” yang diselenggarakan oleh KBR.id. Bapak Komarudin S.sos.M.Kes (Wasor Kusta Kabupaten Bone) membagikan program penanganan kusta di daerahnya.
Meski sempat terhambat oleh adanya pandemi Covid19, saat ini giat kusta di Bone kembali dilakukan. Prevelensi kusta di Bone sebelum pandemi dalam 20 tahun terakhir selalu berada dalam rata-rata 2.5/2000 penduduk, tetapi pada tahun 2020 turun cukup signfikan menjadi 1.7/2000 penduduk, ini terjadi karena aktifitas puskesmas selama pandemi terbatas sehingga penemuan kasus menurun.
Sempat tertunda oleh pandemi, saat ini Kabupaten Bone Untuk kembali menjalankan program penganganan kusta dengan melibatkan kader-kader. Dalam hal ini bidan desa untuk melakukan pendataan pada warga masyarakat yang mengalami tanda bercak pada kulit yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di Puskesmas terdekat.
Program kerja di Bone untuk mengentaskan kusta adalah:
- Pemberian obat pencegahan kusta atau Kemoprofilaksis
- Pemeriksaan penderita, baik yang masih berobat maupun yang sudah OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta)
- Melakukan kegiatan schoocl survey, pemeriksaan anak sekolah
- Kampanye eliminasi kusta dilaksanakan di desa-desa
- Pendataan kusta oleh kader seperti bidan desa
Mencegah Kecacatan pada Pengidap Kusta
Lebih jauh, Pak Komarudin S.Sos.M.Kes juga membagikan cara mencegah Kecacatan pada penderita kusta. Yakni, Setiap pasien kusta harus tau cara mencegah kecacatan dan cara merawat dirinya sesuai dengan cacat yang dialaminya. Untuk mencegah kecacatan itu tidak terjadi, maka penderita kusta maupun OPMYK harus melakukan pemeriksaan terhadap 3 hal, mata, tangan dan kaki. Apakah tangan ada luka, apakah ada yang tidak terasa, apakah mata kabur, telapak kaki mati rasa. Jika masih ada gejala secepatnya ditindaklanjuti dengan pengobatan.
Bagi pengidap kusta yang sudah mengalami kecacatan atau adanya ulkus atau luka, maka mereka harus tau cara perawatan diri. Dengan prinsip Rendam, Gosok, dan oles. Jika dilakukan secara teratur, maka luka tersebut bisa sembuh dalam hitungan bulan.
Selain secara mandiri, penderita kusta yang masih melakukan pengobatan harus rutin datang ke puskesmas untuk melakukan monitoring, karena masih adanya kemungkinan reaksi tanpa gejala. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan fungsi saraf, karena jika tidak diketahui dan tanpa tindakan maka ini bisa menimbulkan kecacatan.
Di Bone, penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan dilatih untuk memberikan penyuluhan atau testimoni kepada masyarakat. Ini penting agar masyarakat memiliki persfektif yang benar kepada penyakit ini. Selain itu juga, mereka yang sudah sembuh dilatih untuk mendaur ulang barang bekas menjadi barang produktif. Kegiatan ini adalah upaya agar OYPMK (Orang Yang Pernah Menderita Kusta) berperan aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan dan mengikis stigma negatif.
Kusta ditakuti bukan karena penyakitnya, tetapi kecacatan yang ditimbulkan juga stigma negatif yang diberikan kepada para penderitanya. Kedua hal ini tidak jarang membuat mereka tersisihkan dan memperoleh diskriminasi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Untuk itu sangat penting untuk memberikan wawasan yang tepat mengenai kusta, agar para penderita dan juga non penderita bisa saling memahami.
Mewujudkan masyarakat yang inklusif berarti mengakui kesetaraan, dan perlakuan yang adil bagi para disabilitas. Dengan demikian mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan terpenuhi hak-hak lainnya tanpa adanya diskriminasi. Dengan demikian para penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dan manfaat lebih jauh tentunya mereka berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara.