PSSI sebagai otoritas tertinggi di negri ini merasa kebakaran jenggot setelah akan bergulirnya LPI ( Liga Premier Indonesia) , bukanya terbuka pada kritik malah merasa tersaingi dan men cap sesat LPI. Ketua Umum dirasa sudah tidak layak lagi memimpin PSSI, suara tuntutan untuk mundur Lantang di suarakan di seantero bumi pertiwi. Alih-alih turun Pak NH malah sibuk membela diri, walau fakta jelas terpampang prestasi Timnas Jeblok di bawah kepemimpinanya, apakah NH masih mau berkata ini takdir ??
Kita Simak, bagaimana *Soeratin membesarkan PSSI, beliau dengan sikap keras, membela harga diri dan martabat PSSI tercermin dalam kasus pengiriman tim Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938 di Prancis. Ketika itu Hindia Belanda mengirimkan tim dari Nederlandsh Indische Voetbal Unie (NIVU, organisasi yang merupakan metamorfosis dari NIVB) ke Prancis. Kendati sembilan pemain dalam tim itu berasal dari kalangan bumiputera dan Tionghoa,Soeratin marah bukan main karena ia menganggap NIVU melanggar “Gentlement Agreemnt” yang ditandatangani PSSI (yang diwakili Soeratin) dengan NIVU (yang diwakili Materbreook ) pada 5 Januari 1937 yang menyebutkan bahwa pengiriman tim mesti didahului oleh pertandingan antara NIVU dengan PSSI. Soeratin juga menginginkan agar bendera yang digunakan tim Hindia Belanda bukan bendera NIVU. Pelanggaran kesepakatan itu dinilai Soeratin sebagai pelecehan atas martabat PSSI. Itulah sebabnya Soeratin, atas nama PSSI membatalkan secara sepihak semua butir kesepakatan antara PSSI dengan NIVU pada Kongres PSSI 1938 di Solo.
Pada kongres itulah Soeratin membacakan pidato berjudul “Loekisan Djiwa PSSI: Mendidik Ra’jat dengan Perantaraan Voetbalsport” pidato yang menjadi cetak biru visi PSSI pada masa kolonial, pidato yang sepertinya tak pernah dibaca oleh Nurdin Halid dan para pengurus PSSI sekarang.
Salah satu kalimat Soeratin yang paling termasyhur –seperti diceritakan Maladi– berbunyi: “Kalau di lapangan sepakbola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda.”
Nasionalisme dan politik pada masa itu menjadi bagian inheren dari PSSI. Jangan heran jika, misalnya, panitia kejuaraan PSSI II pada 1932 yang digelar di lapangan Laan Travelli, Batavia, nekad mengundang Soekarno untuk melakukan tendangan bola kehormatan pada partai final kejuaraan yang memertemukan VIJ (Voetball Indonesia Jcatra) melawan PSIM Yogyakarta. Tindakan itu berkadar subversif karena Soekarno baru saja keluar
dari penjara Sukamiskin di Bandung akibat aktivitasnya sebagai pemimpin Partai Nasional Indonesia.
Ir Soeratin juga lebih baik kehilangan pekerjaan demi membesarkan PSSI, beliau keluar dari zona nyaman dan mempertarukan masa depan kehidupanya. (Baca : sejarah PSSI,ir soeratin sang pendiri.)
Lalu pak NH?? Beliau tidak rela meninggalkan PSSI bukan karena cinta organisasi ini namun karena takut kehilangan lahan basah…!! Track record nya membuktikan dia tikus !! Bolak balik masuk sel karena korupsi…!!
* detik.sports